Cerpen

Sampai Matahari Terbenam (cerpen)


Temani Aku.. Sampai Matahari Terbenam..

images

Siang itu, tak ada yang berbeda dari siang-siang sebelumnya. Jalanan macet dengan kendaraan pribadi, dan matahari tampak bahagia bersinar di atas sana. Saat semua orang memilih berdiam diri menghindari matahari, aku juga menghidarinya dengan berlindung mengunjungi toko buku favoritku.

Entah telah berapa lama aku berada di tempat ini, memilah milih judul dan cover yang menurutku menarik, membaca sinopsis beberapa novel, dan memutuskan untuk membeli buku yang sekiranya ku butuhkan. Di tangan kiriku, aku memegang 2 novel yang sudah ku putuskan akan ku beli, dan ditangan kananku ada 3 buku referensi yang belum ku tentukan akan membeli yang mana. Aku sedang mencoba berdiskusi dengan hati dan otakku, yang manakah yang lebih ku butuhkan saat seseorang tak sengaja—mungkin sengaja menubrukku hingga buku-buku ditanganku terjatuh berserakan di lantai.

“Ah maaf,” katanya sementara Aku mencoba meraih buku-buku yang terjatuh, ia kemudian membantukku.

“Sekali lagi aku minta maaf, aku tak sengaja” ucapnya lagi saat buku-buku sudah terkumpul seluruhnya ditanganku.

Aku mendongak menatap seseorang yang menubrukku. Anak laki-laki yang memiliki postur tinggi, badannya terlihat kurus, alisnya tebal, hidungnya mancung, dan dia memiliki lengsung pipi. Aku hendak membalas ucapannya, saat tiba-tiba dia berucap..

“Kak Raya?” dia mendahuluiku, mengurungkan niatku untuk berbicara. Aku menaikkan alis. Tiba-tiba beribu pertanyaan muncul di otakku. Dari mana dia tahu namaku? Apakah dia mengenalku? Apakah aku mengenalnya? Apakah kita pernah bertemu?

“Kamu.. mengenal—ku?” akhirnya hanya itu yang ku tanyakan.

“Iyalah. Kakak lupa sama aku?”

Dari ucapannya, sepertinya dia sangat mengenalku. Tapi.. siapa dia? Aku menatapnya lagi, mencoba-coba mengingat-ngingat dimanakah aku mengenalnya? Dan siapakah nama dia?

“Aku Agas Kak, temen kecil kakak,” ucapnya seperti membaca fikiranku.

“A—gas?” ulangku, sambil mengingatnya. “temen kecil?” Aku mencoba mengingatnya lagi, dan AKU INGAT!

“Agas anaknya Bu Ratna? Yang suka nyamperin aku waktu pulang sekolah? Yang suka ngejar-ngejar aku? Yang suka sama aku???” tanyaku bertubi-tubi. Aku tak mampu menahan seluruh petanyaan itu, aku terlalu shock. Tak percaya.

“Iya. Aku senang Kakak mengingatku” Aku merasa dunia terasa sempit saat dia menjawab pertanyaanku. Mengetahui itu, aku cepat-cepat melangkah menuju kasir, tak ingin berlama-lama dengannya.

Aku tak sempat memilih buku mana yang akan ku beli, alhasil 5 buku terakhir yang aku pegang ku beli semua. Aku tak ada waktu lagi, bahkan untuk sekedar berfikir, yang harus aku lakukan sekarang, kabur dari anak laki-laki itu.

“Kenapa buru-buru seperti itu?”

Aku tak menjawabnya. Aku sangat kesal mengetahui ternyata dia mengikutiku, aku lantas dengan cepat menuju keluar toko, hendak menyetop angkutan umum. Saat dilihat angkutan umum mendekat, aku cepat-cepat memasukinya, tak sanggup lagi berlama-lama dengan anak laki-laki yang bahkan tak ingin ku sebut lagi namanya.

Aku mendengar dia sempat mengucapkan sesuatu saat angkutan umum yang ku naiki mulai melaju, tapi aku tak tahu apa yang di ucapkannya. Yang aku tahu, dia terus memandang angkutan umum ini sampai hilang dipersimpangan.

7 tahun lalu..

“Kakak, namanya siapa?” tanya anak laki-laki saat seorang anak perempuan berjalan melewati rumahnya. Anak perempuan itu mencoba mencari sumber suara yang ternyata telah berada di sampingnya entah sejak kapan.

“Namaku Raya” jawabnya seraya berjongkok menyamakan tingginya dengan si anak laki-laki.

“Kak Laya cantik,” kata anak laki-laki itu, polos sekaligus jujur. Anak perempuan itu tersenyum lalu mencubit pipi anak laki-laki yang menurutnya sangat menggemaskan itu.

“Terimakasih. Namamu siapa?”

“Agas ka. Bagas Adiputla”

Saat itu, saat perkenalan pertama mereka, Agas atau Bagas masih belajar di taman kanak-kanak. Sedangkan, Raya sudah duduk di bangku kelas 5 SD. Dan semenjak hari itu mereka berteman.

Raya tak mempunyai alasan untuk tidak berteman dengan Bagas. Menurutnya, Bagas anak yang sangat lucu, menggemaskan dan pintar, dia selalu dapat menghibur Raya saat bersedih, Ia juga selalu melindungi Raya dari keusilan teman-temannya. Raya senang berteman dengan Bagas, begitu pun sebaliknya.

Awalnya, Raya tak pernah mempermasalahkan perbedaan umur mereka. Raya sangat bahagia mengenal Bagas, dan sudah menganggap Bagas sebagai adiknya sendiri, tapi nampaknya tidak dengan Bagas, dia tidak menganggapnya teman, dia tidak menganggapnya Kakak, tapi Bagas menganggap Raya perempuan.

Saat Raya duduk di bangku kelas 6 dan Bagas kelas 1, Bagas sering menunjukkan perilaku-perilaku yang aneh, mulai dari sering memegang tangan Raya, membelikannya coklat atau permen, marah saat Raya berteman dengan laki-laki lain, dan yang lainnya. Raya tak menyadarinya karena menganggapnya wajar, tapi teman-teman Raya yang merasa kesal karena tak bisa bermain dengan Raya menyadarinya, bahwa menurut mereka Agas menyukai Raya.

Teman-temannya sering berbicara pada Raya bahwa Bagas menyukai Raya, tapi Raya tak menanggapinya. Bagaimanapun Bagas hanyalah seorang anak kecil kelas 1 SD dan Raya seorang siswi kelas 6 SD. Belum ada kata menyukai.

Raya terus menyangkalnya, tapi teman-temannya semakin sering membicarakan perihal Bagas. Seiring berjalannya waktu, bahasan ini menjadi lelucon teman-temannya untuk mengolok-ngolok Raya, untuk mengejek Raya bahwa iya menyukai anak kecil. Raya benci lelucon ini! Raya sangat tidak menyukainya!

Hingga suatu hari, Raya membawa Bagas ke hadapan teman-temannya lalu meminta Bagas berkata bahwa Ia tak menyukai Raya, bahwa mereka hanya berteman dan mereka adik-kakak.

“Ayo de! Kamu bilang sama mereka, kalau kita temenan!”

“Kak—“

“Tunggu apa lagi?”

Raya mulai marah saat Bagas tak juga mengucapkannya, teman-temannya sudah malas menunggu sesuatu yang menurut mereka tak penting ini. Tapi menurut Raya ini penting! Ini tentang harga dirinya!

“Aku—memang su-ka Ka-kakk” ucap Bagas akhirnya, di ikuti siulan teman-teman Raya.

“Ap—aa??” Raya tak mampu menyembunyikan katerkejutannya. Ia lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan isak tangis. Sama sekali tak memperdulikan Bagas yang saat itu juga tampak bersedih.

Seharian itu, Raya tak henti-hentinya menganis. Ia tahu, setelah itu Ia akan selalu jadi bahan olok-olokkan teman-temannya. Dijadikan bahan tawa orang-orang. Raya benci ini! Sejak saat itu, Raya membenci Bagas dan segala sesuatu tentang Bagas.

5 bulan berlalu, 5 bulan juga Raya tak pernah lagi bermain dengan Bagas, Ia terlalu kesal untuk sekedar mendengar namanya. Walaupun Bagas tetap bersikap seperti biasa, walaupun Bunda Bagas telah meminta maaf, Raya tak dapat berhenti membenci Bagas yang telah menyebabkannya menjadi bahan ejekkan.

Suatu hari, Bagas dengan keluarganya pindah dari kota ini, meninggalkan Raya dengan sejuta kebenciannya. Dan maaf kalau Raya salah, tapi saat itu Raya merasa bahagia.

Nama itu..

Aku berbaring di tempat tidurku saat kenangan itu muncul. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi. Kenapa dia harus datang lagi setelah sekian lama menghilang? Kenapa tidak selamanya saja aku tak bertemu dengannya lagi?

Tiba-tiba kakiku melangkah menuju meja belajar, tanganku menarik sebuah laci, dan di bagian paling dalam ku dapati fotoku bersama—tak perlu ku sebut namanya serta sebuah surat singkat tulisan khas anak kelas 1 SD, isinya ‘Kak, ini coklat terakhirku untuk Kakak, karena kita tidak akan bertemu lagi’

“Kamu salah. Kita bertemu lagi hari ini” lirihku.

Tidak seperti siang kemarin yang panasnya tak tertahankan, siang ini hujan turun saat aku telah menyelesaikan mata kuliahku. Dan aku tak membawa payung karena kulihat pagi tadi awan cerah-cerah saja. Harusnya aku mengikuti saran Mamah untuk membawa payung saat musim pancaroba seperti ini. Aku jadi menyesal sendiri tak menurut.

45 menit menunggu, aku tak menemukan tanda-tanda hujan akan reda. Tanpa berfikir lagi, aku memutuskan untuk menerobos hujan sampai halte depan, lalu menunggu angkutan umum menjemputku.

Aku sudah melangkahkan kakiku dari tempatku menunggu, tapi aku tak merasa hujan mengguyurku. Apa hujan baru saja reda? Atau–? Oh seseorang menaungiku dengan payungnya.

“Kamu-?” tanyaku terkejut saat melihat orang yang menaungiku, dia hanya tersenyum. Kamu pasti tahu yang ku maksud dengan’dia’.

“Kamu ngapain disini?”

“Ngelindungin Kakak” jawabnya. Dari caranya berbicara, dari tatapannya, aku tahu dia tulus, tapi—

“Aku gak butuh!”

Dengan cepat, aku berlari menerjang hujan. Kali ini aku merasakan sekujur tubuhku basah diterpa air hujan. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya saat ini, dan aku tak peduli. sebisa mungkin, aku berlari secepat yang aku bisa, menghindari guyuran air hujan yang semakin deras, juga menghindarinya.

“De, gimana dong? Aku gak bawa payung.” Ucap Raya. Saat itu, hujan turun dengan deras menguyur tanah Bandung.

Tanpa menjawab pertanyaan Raya, Bagas berlari meninggalkan sekolah. Raya yang menyadarinya segera berteriak “Deee. Kamu mau kemanaa?” Bagas tak ingin menjawabnya, tapi kuatir Raya mengejarnya Ia lalu menjawab pertanyaan Raya.

“Kakak tunggu disitu, aku sebentar lagi kembali”

Bagas menepati janjinya. Ia kembali sembari membawa payung untuk Raya.

“De, kamu habis darimana? Kenapa hujan-hujanan gini?” tanya Raya khawatir.

“Aku abis bawain Kakak payung, tadi aku pulang ke rumah.”

“De, tapi kamu—“

“Aku seneng kok ujan-ujanan demi Kakak.

Raya lalu bisa pulang tanpa kehujanan dengan payung yang Bagas berikan, tapi akibatnya, Bagas demam tinggi malam harinya,

Satu lagi kenanganku dengan Bagas tiba-tiba berputar. Aku tahu dari dulu anak itu memang sangat baik. Dan sebenanya tak ada alasan untukku membencinya, mungkin kecuali perasaannya padaku tempo dulu. Tapi bagaimanapun Ia telah menghancurkan masa kecilku di sekolah dasar, dan Aku tak mau dia menghancurkan hidupku lagi.

Tok..tok..tok..

“Raya.. ada tamu sayang” suara Mamah dari balik pintu. Dengan malas, aku berjalan menuju pintu. “Siapa?” tanyaku.

“Kamu pasti terkejut” jawab Mamah membuatku penasaran. Aku lalu berjalan mendekati ruang tamu, dan mendapati anak laki-laki duduk disana. Aku tahu itu Bagas, dan sebelum dia melihatku, aku segera berjalan melawan arah, lalu kembali masuk kamar.

“Ya, kok ga disamperin sih?” tegur Mamah dari luar saat aku telah berhasil mengunci diri dikamar.

“Aku nggak mau ketemu dia,Maa!!!”

Setelah itu, Aku tak tahu apa yang tejadi di luar. Aku tak tahu apa yang dikatakan Mamah padanya. Yang aku tahu, dia—Bagas berjalan keluar meinggalkan rumahku dengan perasaan kecewa. Aku bisa melihat itu dibalik jendela kamarku. Aku bisa melihat wajah kekecewaaannya. Dan sekali lagi, Aku tak peduli!!

Raya dan Bagas sedang berada di kedai es krim favorit mereka, menghabiskan sore yang cerah ini dengan es krim kesukaan mereka di tangan masing-masing. Raya dengan es krim vanilla choco chip, dan Bagas dengan es krim vanilla tanpa choco chip.

“Kak,” panggil Bagas.

“Hmm”

“Aku seneng bisa deket sama Kakak,”

“Aku juga de,”

“Kakak mau janji sama aku?”

“Apa?”

“Kakak akan selalu ada di samping aku, nemenin aku, gak akan ninggalin aku.”

Raya tak menjawabnya, tapi menunjukan jari kelingkingnya ke hadapan Bagas, dan tepat saat matahari terbenam. Bagas membalas jari kelingkin itu. Keduanya bertautan.

Aku tahu kejadian berturut-turut 2 hari kemarin, saat aku bertemu dengannya, itu bukan tanpa sengaja. Itu bukan kebetulan, tapi itu takdir. Maka dari itu, Aku berharap, hari ini takdir tak mempertemukanku dengannya. Namun sepertinya, harapanku tak terkabul, karena aku melihatnya berdiri di depan gerbang kampusku seperti sedang menunggu, dan mungkin dia memang sedang menunggu.

Aku pura-pura tak melihatnya dengan berjalan cepat melewatinya, tapi dia cukup sigap mencariku, karena saat melihatku dia langsung menghampiriku..

“Kak, tunggu!”

Aku tak menghiraukan ucapannya, aku terus berjalan menuju halte saat tiba-tiba dia menarik tanganku, menghentikan langkahku tepat di depan gerbang.

“Kak,”

“Apa? Ngapain sih kamu disini? Aku nggak mau ketemu sama kamu. Kamu ngerti ga sih?!” ucapku kesal. Dia nampaknya terkejut mendengar ucapanku.

“kak..” lirihnya. Aku menunduk, tak mau melihatnya. “Sampai kapan Kakak mau ngehindarin aku?” Aku terdiam mendengar ucapannya. Ini terlalu tiba-tiba, aku belum mempersiapkan jawabannya, dan mungkin memang aku tak tahu jawabannya. Aku bungkam.

“Kak, liat aku” aku tak mau melihatnya, tapi tangannya menyentuh daguku. Membuatku mau tak mau melihatnya. Mata kami bertemu, dan aku melihat… ada kerinduan disana.

“Sebenci itukah Kakak sama aku? Sebesar itukah salah aku? Sampe-sampe Kakak nggak mau ketemu sama aku” ucapnya lirih. Lagi-lagi aku bungkam.

“Kak, aku minta ma—“

“Cukup Gas, cukup. Aku mohon, jangan ganggu aku lagi. Tolong kamu pergi dari hidup aku” pintaku. Ada kebohongan disana. Aku lagi-lagi menunduk, tak sanggup menatap manik mata Bagas yang penuh dengan kesedihan dan kepedihan. Apakah ucapanku telah menyakitinya? Entah mengapa sebagian dari hatiku menyesali ucapanku tadi.

“Tanpa Kakak pinta aku akan pergi dari hidup Kakak.” Ucapnya. Aku menangkap ada keyakinan disana. “Tapi aku mohon, hari ini, hanya hari ini, Kakak jangan hindarin aku. Aku ingin main sama Kakak kayak dulu. Dan aku janji, setelah itu, setelah hari ini, aku akan pergi dari hidup Kakak. Aku nggak akan ganggu Kakak lagi.” Hening sejenak. Aku tak menjawabnya.

“Aku mohon.. sampai matahari terbenam hari ini saja..” lanjutnya.

Aku memutuskan memenuhi permintaannya. Bermain seperti waktu kecil, mengunjungi tempat-tempat favorit kami, melakukan apa yang kami lakukan dulu, dan diam-diam aku menikmatinya. Menikmati setiap detik yang ku lewati hari ini.

Sepertinya aku akan menyesal jika tak memenuhi permintaannya tadi, karena aku sungguh menikmatinya. Sejauh ini, dia tak membuatku bosan, dia penuh dengan canda tawa untuk menghiburku, dia bercerita banyak tentang apa yang di alaminya tujuh tahun terakhir ini. Dan sedikit demi sedikit, dia menghilangkan kebencianku padanya hanya dalam waktu beberapa jam. Aku terkesan, dan Aku baru menyadari, ternyata aku merindukannya.

“Kak, aku kangen kakak,” ucapnya. dari matanya, aku tahu dia tulus.

Saat ini, kami berada di kedai es krim favorit kami, menikmati es krim favorit masing-masing sambil mengobrol tentang banyak hal, seperti yang selalu kami lakukan dulu. Meskipun ingin, Aku memutuskan tak membalas ucapannya dan hanya tersenyum menanggapi.

Diam-diam aku memperhatikannya, dan Baru bisa menyadari, ternyata Bagas sudah banyak berubah. Wajahnya tak sebulat dulu, pipinya juga tak semenggemaskan dulu, tapi dia masih memiliki lesung pipi yang hanya akan terlihat saat dia tersenyum. Saat berjalan beriringan tadi, tingginya sudah melebihiku, suaranya juga sudak tampak berat, nampaknya dia baru saja pubertas. dan aku baru menyadari wajahnya… sedikit pucat, badannya juga terlalu kurus.

“Kamu sak—“ aku baru saja akan menanyakan keadaannya saat ku lihat darah mengalir dari hidungnya. “Gas, daraahhh!” ucapku panik, Aku terlalu terkejut, hingga tak sadar aku telah berteriak histeris.

“Kak, jangan gitu. Aku jadi panik”

“Tapi itu darah gas,” aku cepat-cepat mengambil tisu sebanyak mungkin yang tersedia di meja kedai, lalu berusaha menghentikan darah yang mengalir dengan menyumbat hidung Bagas dengan tisu. Tapi tak ada tanda-tanda darah itu akan berhenti, malah semakin lama darah itu mengalir makin banyak.

“Aku akan mengurusnya di toilet saja Kak,” ucapnya tampak tenan, seperti telah terbiasa dengan situasi seperti ini. Tapi aku tak bisa menghilangkan rasa khawatirku. Dia mimisan tiba-tiba. Aku terlalu terkejut. Dan apa yang sebenarnya terjadi denganya?

Dia baru keluar dari toilet setelah 15 menit berlalu. Darah sudah tak mengalir lagi,tapi wajahnya semakin terlihat pucat.

“De, kamu nggak apa-apa?” tanyaku khawatir.

“Kakak khawatir?” bukannya menjawab, dia malah balik bertanya diiringi dengan senyum yang membuat lesung pipinya terlihat.

“Dee…”

“Aku nggak apa-apa kok,kak”

“Lebih baik kita pulang aja ya!”

“Nggak!” serunya langsung.

“Tapi,De—“

“Kak, ini kesempatan terakhir aku bareng sama Kakak, aku gak mau ngelewatinnya gitu aja,” wajahnya tampak sedih saat mengucapkan itu.

“Kamu boleh nemuin aku besok, besok lagi, besoknya lagi, kapanpun kamu boleh temuin aku. Tapi sekarang, kita pulang yah?” pintaku.

“Nggak Kak, Aku sudah janji hanya hari ini, aku nggak akan temuin kakak lagi setelah ini”

Ucapannya terdengar seperti kalimat perpisahan, dan entah mengapa hatiku sakit mendengarnya. Aku tak bisa mengerti, beberapa jam lalu aku masih sangat membencinya dan tak mau menemuinya, tapi saat ini kebencian itu lenyap begitu saja, dan aku tak ingin kebersamaan ini berakhir.

“Kamu yakin nggak apa-apa?”

“Selama Kakak disamping aku, aku akan baik-baik saja”

Aku dan Bagas duduk berdampingan di pinggir lapangan upacara sekolah dasar dulu. Tak ada obrolan yang tercipta. Tak ada suara yang terdengar, hanya desahan nafas masing-masing yang menemani sore ini.

“Kak, ingat tempat ini?” tanya Bagas memecahkan keheningan.

“Tentu,”

“Ingat lapang ini?” tanyanya lagi. Meskipun tak secara langsung, aku tahu, yang dia maksud lapang ini adalah tempat saat terakhir kali aku bersamanya, saat dia mengucapkan kata suka di depan teman-temanku, saat aku mulai membencinya.

“Hm,”

“Dulu aku masih kelas 1 SD, aku bilang aku suka sama Kakak. Dan sekarang, aku kelas 2 SMP, aku bilang aku masih suka sama Kakak, aku sayang Kakak sebagai perempuan, bukan sebagai teman, sahabat, atapun Kakak aku.” Saat mengucapkannya dia menatap lurus ke langit, menatap matahari yang sebentar lagi benar-benar akan terbenam.

Aku tak menjawab ucapannya, malah memandang matanya, mencoba menerka ucapannya, berharap ada kebohongan disana. Tapi sungguh, dia tulus mengucapkannya.

“Apakah ada yang salah menyukai orang yang 5 tahun lebih tua dari kita? apakah ada yang salah dengan perasaanku? Aku hanya berusaha tak membohongi perasaanku” kali ini dia menatapku.

“Gas, kamu tahu, daridulu, aku sudah menganggapmu sebagai adik sendiri”

“Aku tahu, aku juga gak minta kakak balas perasaan aku, aku hanya.. aku.. tak punya waktu lagi untuk mengatakannya,”

Lagi-lagi ucapannya terdengar seperti kalimat perpisahan, dan aku sangat membencinya. Sungguh, aku masih ingin bertemu dengannya lagi setelah hari ini.

“Kak, apakah sekarang Kakak masih membenciku?” tanyanya tiba-tiba.

“Aku tidak pernah benar-benar membencimu,De” jawabku jujur.

“Terimakasih,”

Aku tak menjawab, lagi-lagi hanya menanggapi dengan senyuman. Setelah itu, keheningan tercipta lagi, dan tiba-tiba kepalanya bersandar dipundakku. Aku sempat terkejut dibuatnya.

“Izinkan aku seperti ini, sampai matahari terbenam saja..”

Aku bergeming. Membiarkannya bersandar dipundakku seperti yang dia minta, menatap lapangan sekolah yang menyimpan banyak kenanganku dengannya. Sebentar lagi, matahari terbenam. Dan saat itu pula, aku akan berpisah dengan Bagas.

Matahari benar-benar terbenam saat Bagas tak juga beranjak dari pundakku.

“Gas-“ panggilku. Bagas tetap bergeming.

Aku hendak berusik saat tiba-tiba kepalanya jatuh terkulai begitu saja di pahaku, wajahnya sangat pucat, lebih pucat dari yang aku lihat saat di kedai tadi. Aku memegang tangannya, dan merasakan dingin yang sangat menusuk di sekujur tubuhnya. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi saat itu aku menangis dan memeluk Bagas.

Kanker darah. 3 tahun dia berjuang melawannya, tapi kini leukemia itu telah menghentikannya, memasukkannya ke dalam daftar nama orang-orang yang telah dikalahkannya.

Bagas benar-benar menepati janjinya, Ia pergi dan tak akan menemuiku lagi. Ia pergi dan tak akan muncul di hadapanku lagi. Aku tak menyangka yang Bagas maksud dengan pergi adalah ‘pergi seperti ini’. Pergi dan tak akan kembali. Aku sakit mengetahui kenyataan ini. Ditambah pengakuan Bunda Bagas kepadaku, semakin membuatku sakit dan menyesal.

“3 hari terakhir kemarin, Bagas memang sengaja mencarimu, menemuimu, Ia bilang ia harus mengatakan sesuatu sebelum ia pergi. Ia bilang ia tak ingin pergi sedangkan Kamu masih membencinya,”

Ucapan bunda Bagas terus terngiang saat Aku berdiri di samping peristirahatan terakhirnya, memandang kayu nisan bertuliskan namanya. Tak ada lagi tangis, tak ada lagi duka. Yang ada hanya sebuah penyesalan yang ku tahu tak ada gunanya lagi.

Agas… andai aku tahu lebih dulu, mungkin aku tak akan menghindarimu di tiga hari terakhirmu,aku akan menemanimu kemana pun kamu mau, aku akan membayar waktu 7 tahun yang tak kita lewati bersama, aku akan menemanimu melewati hari-hari tersulitmu, aku akan terus bersamamu sampai matahari terbenam dan terbit lagi esok hari..

Tinggalkan komentar